Sabtu, 09 April 2011

Doktrin "ReaLib" Obama

Ciri utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) sejak tahun 1940-an dibentuk oleh dua tradisi besar dalam ilmu hubungan internasional, yaitu realis dan liberalis.
Tradisi realis berkembang selama era Perang Dingin, di mana tujuan utama tradisi ini dimaksudkan untuk melakukan politik pembendungan (containment policy) terhadap Uni Soviet yang dinilai membahayakan supremasi kekuasaan AS di dunia. Sementara itu, tradisi liberalis berkembang di era pasca-Perang Dingin, di mana tujuan utama kebijakan luar negeri AS diarahkan untuk melakukan ekspansi kebebasan/demokrasi ke seluruh penjuru dunia.

Richard N. Haas, Presiden Council on Foreign Relations, menilai bahwa doktrin kebijakan luar negeri Obama itu lebih mirip dengan tradisi realis dibandingkan dengan liberalis.
Penilaian Haas itu didasarkan atas pengamatan tentang apa-apa yang telah dilakukan Obama dalam tingkah laku kebijakan luar negerinya. Dalam opininya, “Kembalinya Realisme Kebijakan Luar Negeri AS” (Tempo, 16 Mei 2009), Haas melakukan studi banding antara kebijakan luar negeri Obama dengan kebijakan luar negeri George Bush yang realis (sang ayah) dan George W. Bush yang liberalis (sang anak).
George Bush (sang ayah) dan George W. Bush (sang anak) adalah presiden AS yang telah menceburkan negaranya pada Perang Irak. Tapi ada yang membedakan keduanya dalam hal motif/tujuan Perang Irak. Motif/tujuan George W. Bush (sang anak) melancarkan Perang Irak 2003 adalah untuk mengganti rezim pemerintahan. Ia berharap penggantian rezim pemerintahan di Bagdad ini bakal berujung pada terbentuknya Irak yang demokratis. Sebagai penganut paham liberalis, Bush (sang anak) tentu berharap dengan demokratisnya Irak, negara ini akan menjadi lebih bersahabat dengan AS.
Berbeda dengan anaknya, motif dan tujuan President Bush (sang ayah) dalam Perang Irak sebelumnya adalah untuk membebaskan Kuwait dari aneksasi Irak. Setelah berhasil membebaskan Kuwait, AS justru tidak terus bergerak maju menuju Bagdad dan menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein, seperti apa yang telah dilakukan oleh anaknya, meskipun banyak pihak di AS yang menganjurkan Bush (sang ayah) melakukan hal tersebut. Bush disini nampaknya lebih tertarik pada cara-cara realis yang tidak ingin melihat negara lain unjuk kekuatan / kekuasaan yang dapat mengganggu kepentingan AS di Kuwait.
Menurut Haas, Presiden Barack Obama lebih bersepakat dengan pendekatan realis yang dilakukan Bush (sang ayah) dibandingkan dengan pendekatan liberalis yang dilakukan Bush (sang anak) di Irak. Dalam kebijakan luar negeri AS di Afghanistan, misalnya, Presiden Obama sama sekali tidak menyinggung soal mengubah negeri itu menjadi suatu negara yang demokratis. Di Afghanistan, Obama hanya tertarik untuk menghancurkan Al-Qaidah, yang selama ini telah mengganggu kepentingan AS di kawasan tersebut.”
Begitu pula dengan China. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dalam kunjungannya ke beberapa negara di Asia pada Februari 2009, menegaskan bahwa AS tidak akan menjadikan aspek HAM dan demokrasi sebagai landasan utama untuk menjalin hubungannya dengan China.
Dengan indikator-indikator ini, wajar saja jika Haas mengatakan Obama telah mengembalikan tradisi realisme dalam kebijakan luar negeri AS yang sempat memudar selama era kepemimpinan Bush (sang anak).
Tapi apakah penilaian Haas terhadap kebijakan luar negeri Obama tersebut dapat dikatakan final. Bahwa memang tidak akan ada lagi pertimbangan liberalis yang akan diusung dalam kebijakan luar negeri Obama. Jawabannya tentu tidak.
Dalam pidatonya di hadapan publik AS, pada Senin 28 Maret 2011, di National Defense University, Washington,  Presiden Obama menjelaskan alasan melibatkan AS dalam perang di Libya. Dalam pidatonya tersebut, Presiden Obama menunjukkan ketegasan sikap AS dalam memandang perubahan di Libya.
Di sini terlihat jelas nuansa liberalis kebijakan luar negeri Obama. Seperti apa yang dikatakan oleh Obama dalam pidatonya, “... Kepentingan nasional kita adalah Kita harus berdiri di samping mereka yang percaya pada prinsip-prinsip yang sama dengan kita, dan yang telah membimbing kita melalui banyak badai: penolakan untuk kekerasan yang ditujukan pada orang-orang sendiri, dukungan untuk hak asasi yang universal, termasuk kebebasan bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri mereka dan memilih pemimpin mereka, kami mendukung pemerintah yang responsif terhadap aspirasi rakyat. Lahir, seperti kita, dari revolusi oleh mereka yang rindu untuk bebas, kami menyambut fakta bahwa sejarah bergerak di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan orang muda yang memimpin. Karena dimanapun orang ingin “bebas”, mereka akan menemukan “teman” di Amerika Serikat”.
Penggunaan kata “bebas” dan “teman” bagi AS oleh Obama dalam pidatonya itu merujuk pada negara yang bebas dan demokratis, dan ini adalah sebuah ide yang mengacu pada teori yang sangat dikenal dalam litertatur ilmu hubungan internasional, yakni teori perdamaian demokratik (democratic peace theory). Teori ini mengatakan bahwa tidak akan ada negara demokrasi yang saling berperang satu sama lain, atau dalam kalimat Michael W. Doyle (1983), “even though liberal states have become involved in numerous wars with nonliberal states, constitutionally secure liberal states have yet engage in war with one another”.
Telah terjadi pergeseran yang begitu cepat dalam orientasi kebijakan luar negeri Obama. Jika sebelumnya Presiden Obama lebih tertarik mengusung cara-cara yang realis, kini Obama justru mengedepankan cara-cara yang liberalis. Tidak ada patokan yang pasti untuk menilai orientasi kebijakan luar negeri Obama.
Dengan begitu, ungkapan yang tepat untuk menggambarkan orientasi kebijakan luar negeri Obama adalah dengan apa yang saya sebut sebagai 'Doktrin ReaLib', yaitu doktrin yang memadukan pendekatan realis dengan liberalis sekaligus. Doktrin Realib ini akan terus dijadikan panduan bagi kebijakan luar negeri Obama sesuai dengan situasi dan kondisi yang dapat menguntungkan kepentingan nasional AS.
Doktrin ini penting untuk diperhatikan pemerintah Indonesia dalam mengarahkan hubungannya dengan Amerika Serikat. Kita boleh saja membangkitkan nostalgia masa kecil Obama karena pernah tinggal di Indonesia, tapi itu tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai sikap dan tingkah laku kebijakan luar negeri Obama terhadap Indonesia. Obama adalah Presiden Amerika, untuk itu sikap dan tingkah laku Obama adalah cermin dari sikap dan tingkah laku Amerika.
Sejarah membuktikan bahwa hubungan kedua negara (Amerika-Indonesia) selalu berjalan dinamis dan bahkan mengikuti alur Amerika, karenanya hal-hal seperti itu mesti diperhatikan pemerintah Indonesia secara serius. Di masa Perang Dingin misalnya, AS dengan doktrin realisnya (pembendungan terhadap komunisme Soviet), akan mendukung negara manapun yang ingin menghancurkan  komunisme. Dan Indonesia dimasa Soeharto cukup jeli melihat ini. Soeharto akhirnya memutuskan untuk melakukan aneksasi terhadap Timor Timur, dengan dalih menghantam komunisme. Bantuan ekonomi dan militer yang diberikan Presiden AS Jimmy Carter terhadap rezim Soeharto pun mengalir tanpa batas jika diukur dari bantuan AS terhadap negara-negara Asia Tenggara lainnya sampai dengan tahun 1992.

Setelah komunisme Soviet runtuh dan Perang Dingin berakhir, situasi pun berubah dengan cepat. Di era ini, Amerika tidak lagi menggunakan isu komunisme sebagai ancaman keamanan Amerika. Di era ini, Amerika justru menjadikan isu HAM dan demokratisasi sebagai agenda utama kebijakan luar negerinya. Peristiwa Santa Cruz pada bulan November 1991, ketika TNI melakukan penembakan secara brutal terhadap para demonstran (tidak kurang 271 orang  tewas), yang disebut pers Barat sebagai Dili's Massacre, telah mengubah secara drastis, sikap Amerika terhadap Indonesia. insiden berdarah Santa Cruz, telah membuat Amerika melakukan tekanan terhadap Indonesia dengan mengurangi bantuan, baik dari segi militer ataupun ekonomi.
Tampaknya, di masa Perang Dingin, Indonesia mendapat keuntungan dari doktrin realis Amerika karena ikut menghadang penyebaran komunisme di Timor Timur. Tapi di era pasca-Perang Dingin, Indonesia justru mendapatkan kendala dengan doktrin liberalis yang diusung oleh Amerika.Karena hubungan Amerika-Indonesia ini lebih menyerupai apa yang dikatakan oleh Paul Kennedy sebagai 'sometimes close, sometimes quarrelsome/kadang baik, kadang ribut' (Bambang Cipto, 2003), untuk itu, pemerintah Indonesia harus lebih berhati-hati lagi dengan doktrin ReaLib ala Obama, yang kebijakannya bersifat jangka pendek. Menjalin kerja sama dengan Amerika serba tidak pasti, untuk itu kejelian dalam membaca arah isu kebijakan luar negeri Amerika diperlukan bagi para diplomat Indonesia. Kita tunggu apa yang akan dilakukan para diplomat Indonesia dalam mensikapi doktrin ReaLib ala Obama, semoga kali ini Indonesia diuntungkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN KOMENTAR KRITIK DAN SARAN ANDA

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

VIDEO

ENTER-TAB1-CONTENT-HERE

RECENT POSTS

ENTER-TAB2-CONTENT-HERE

POPULAR POSTS

ENTER-TAB3-CONTENT-HERE
 

FAJAR NUSANTARA Copyright © 2010 tim-redaksi is Designed by abud_talang