Sabtu, 14 Januari 2012

Negara, UI dan Ketahanan Pendidikan

Esemka dua hari
Jakarta  Sebuah gebrakan awal tahun 2012 memantik kebanggaan menjadi rakyat Indonesia. Siapakah yang melancarkan terobosan pada awal tahun Naga Air ini?
Adalah pasangan Walikota dan Wakil Walikota Solo Joko Widodo (akrab disapa dengan nama Jokowi) dan FX Hadi Rudiyatmo.
Efektif per 2 Januari, mobil dinas mereka yang berupa mobil sedan Camry seharga Rp300 jutaan resmi diganti dengan Rajawali, mobil rakitan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Solo dan SMK Warga Surakarta.
Lewat akun Twitternya (@jokowi_do2), Walikota Jokowi mengumumkan perubahan itu, “Mulai hari ini saya pakai mobil dinas baru, mobil buatan anak2 SMK, muatan lokalnya 80% , harga produk masalnya 95 jt...cinta prod lokal.”
Baca pula komentar pertamanya soal mobil kelas “Sport Utility Vehicle” (SUV) bermerek“KIAT Esemka” itu.
“Catnya alus mulus, interiornya cantik, mesin suaranya halus, ac nya dingin, bensin irit krn 1500 cc, desain mobil bagus...apalagi ya?”
Pilihan Walikota Jokowi itu pun menjadi buah bibir media massa lokal dan nasional.
Berbagai “social media” seperti Facebook dan Twitter pun riuh sambung menyambung membahas mobil dinas baru para pemimpin Solo itu.
Kenapa mendadak mobil rakitan buatan Indonesia mendapat sorotan demikian besar? Padahal sebelum ini sudah ada berbagai mobil rakitan non pabrikan asing, tapi tidak pernah isunya dibuat besar seperti sekarang.
Sebut saja GEA (Gulirkan Energi Alternatif-red), mobil rakitan PT INKA yang berkapasitas 640cc. Mobil ini telah dipesan sebanyak 250 unit oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) pada tahun 2011 dan pengerjaannya dijadwalkan selesai pada tahun ini.
Oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syarul Yasin Limpo, GEA telah digadang-gadang untuk menjadi “trademark” penggunaan mobil Indonesia di kawasan Indonesia Timur
Dengan dimodifikasi menjadi mobil pasar, Pemprov Sulsel menganggarkan tak kurang dari Rp6 miliar agar mobil GEA bisa dibagi-bagikan gratis sebagai bantuan kepada masyarakat.
Ada juga Tawon. Mobil AG-Tawon diproduksi oleh PT Super Gasindo Jaya yang lokasi pabriknya di Rangkasbitung, Banten. Tawon bisa dioperasikan dengan beberapa jenis bahan bakar seperti bensin dan gas CNG. Tawon bahkan sudah mengantongi sertifikat standarisasi Euro3.
Kapasitas mesin Tawon yang 650 cc dengan 4 percepatan transmisi manual dapat dipacu hingga kecepatan 100 km/jam. Mobil ini mulai dikembangkan tahun 2007 dan diproduksi tahun 2009. Muatan lokalnya sampai 90 persen dan harganya di bawah Rp50 juta!
Deretan mobil produksi lokal Indonesia masih terus berlanjut.
Ada Kancil (akronim untuk Kendaraan Niaga Cilik Irit Lincah) yang disiapkan untuk menjadi pengganti bajaj/bemo, menggunakan mesin 250 cc dan sanggup melaju hingga 70 km/jam.
Ada juga Arina, mobil mungil buatan Semarang yang didanai oleh Departemen Perindustrian. Mobil Arina ini menggunakan mesin sepeda motor dengan kapasitas mesin 150 cc, 200 cc, dan 250 cc.
Putra putri Indonesia juga pernah memproduksi Marlip, mobil listrik yang dikembangkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang digunakan untuk mobil golf, pasien, dan mobil keamanan.
Tapi semua mobil itu tak pernah “sebeken” mobil rakitan anak-anak SMK Negeri 2 Solo dan SMK Warga Surakarta.
Nasib mobil Esemka memang sedikit agak berbeda dengan para pendahulunya.
Titik perbedaannya cukup mencolok. Kalau mobil-mobil yang lain hanya diumumkan dan dipasarkan, mobil Esemka langsung dipakai oleh pejabat setingkat walikota dan wakil walikota.
Keberpihakan ini konkrit. Sederhana tapi konkrit tanpa banyak basa-basi.
Gebrakan Jokowi pun sukses membuat publik ramai-ramai berkomentar positif. Para pejabat di daerah lain dan di Ibukota Jakarta pun riung latah.
Walikota Makassar ikut-ikutan ingin mengganti mobil dinasnya yang Daihatsu Terios dengan mobil Esemka.
Ketua DPR Marzukie Ali, Rabu, menyatakan niatnya menyambangi “technopark” tempat mobil Esemka dirakit untuk memesan dan melihat proses pembuatan.
“Saya rencana akan ke lokasi, memberikan jalan agar didukung pengusaha, dibuat sebagai mobil nasional," ujarnya.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo bahkan menginginkan kelak ada semacam instruksi presiden agar semua pejabat memakai mobil nasional – tidak lagi mobil pabrikan luar negeri.
Namun animo membeli mobil Esemka bukan semata dominasi pejabat.
Masyarakat umum juga – lewat Facebook dan Twitter – menyatakan keinginan memesan mobil yang jadi mobil dinas Jokowi.
Alasan mereka selain harga yang murah, mobil Esemka juga menyajikan kebanggaan tersendiri atas produksi dalam negeri sendiri.
Tapi sekali lagi kita harus kembali “menjejakkan kaki di tanah”.
Lebih dari selusin mobil nasional telah diprogramkan, tapi sampai sekarang tidak ada yang menjadi realisasi dengan produksi berskala besar.
Kancil mengganti sebagian kecil bajaj, tapi mayoritas tetap bajaj oranye yang asapnya ngebul dan berisik.
Tawon – yang dibandrol di harga Rp48 juta – juga tak jauh beda.
Beberapa mobil nasional bahkan hilang dari pemberitaan sama sekali tak lama setelah diumumkan peluncurannya lewat media massa.
jalan menjadikan mobil nasional sebagai raja di negeri sendiri itu jalan yang panjang dan tentu berlikunya.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Samanto mengingatkan bahwa uji kelayakan mobil Esemka masih harus ditempuh sebelum mobil itu bisa diproduksi secara massal.
“Sembrono” bila Jokowi langsung menggunakan mobil yang belum dapat surat tanda laik jalan dari Departemen Perhubungan, apalagi dipakai untuk mobil dinas, demikian kira-kira komentar Gubernur Bibit.
Lalu apakah Esemka belum pernah mengajukan uji kelayakan dan surat-surat terkait?
Menurut Wakil Walikota Solo, pihaknya sudah memulai proses pengurusannya sejak dua tahun lalu kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Namun hingga saat ini, izin tersebut tidak kunjung turun.
“Benturan” birokrasi pun sejenak menghentikan kebanggaan menjadi rakyat yang anak bangsanya bisa memproduksi mobil SUV.
Walikota Solo dan wakilnya pun memarkirkan dua mobil Esemkanya, dan kembali ke Camry masing-masing, setelah dua hari menjadi mobil dinas.
Alasan mereka sangat masuk akal; karena memang tak patut berkendara dengan mobil yang tidak punya kelengkapan surat-surat.
Klisye. Dan kebanggaan ini pun harus terjegal.
Kenapa kita tidak bisa menjadi raja di negeri sendiri? Negeri yang konsumsi kendaraan bermotornya luar biasa “rakus”.
Bagaimana tidak dibilang rakus kalau tiap tahun Indonesia bisa membeli tak kurang dari 870.000 mobil dan 8 juta motor.
Hampir semua merek pabrikan dari luar negeri punya showroom di negeri kita. Ini bukti nyata bahwa semua ingin menikmati sedapnya pangsa pasar mobil dan motor Indonesia.
Indonesia, negeri yang penduduknya lebih dari 240 juta jiwa dan daya beli yang terus meningkat akibat jumlah kalangan menengah dan atas yang terus bertumbuh.
Pertanyaan yang menyisa; kalau teknologi itu sudah ada, SDM juga mumpuni, lantas kenapa urusan “paperworks” menghalangi bangsa Indonesia untuk sesaat bisa bangga dengan produknya sendiri? (E012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN KOMENTAR KRITIK DAN SARAN ANDA

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

VIDEO

ENTER-TAB1-CONTENT-HERE

RECENT POSTS

ENTER-TAB2-CONTENT-HERE

POPULAR POSTS

ENTER-TAB3-CONTENT-HERE
 

FAJAR NUSANTARA Copyright © 2010 tim-redaksi is Designed by abud_talang